Page 24 - Napak Tilas Sumedanglarang
P. 24
4. Masa Prabu Pagulingan / Jagabaya (998 – 1114).
Setelah Prabu Gajah Agung wafat digantikan putranya bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114) kemudian menjadi raja Sumedanglarang keempat. Prabu Pagulingan adalah ahli strategi perang tercermin dari gelar “Manggala Wirajaya Jagabaya” ( Manggala = keturunan, Wira = pejuang, Jaya = unggul, Jaga = menjaga, Baya = marabahaya) .
Foto : Kota Sumedang dilihat dari atas Bentang Alam Cadas Gantung.
Pejuang diartikan bukan hanya orang yang terlibat dalam peperangan tetapi lebih dari pejuang yang mampu memerangi hawa nafsu dalam dirinya. Manusia yang kuat adalah manusia yang mampu memerangi hawa nafsunya sendiri. Dalam melaksanakan pemerintahannya Prabu Pagulingan dibantu oleh Patih Singakerta. Pada masa pemerintahannya golongan resi dan pemuka adat harus mengembangkan arti Kasundaan (Sunda artinya suci). Pusat pemerintahan Prabu Pagulingan berkedudukan di Ciguling dalam Carita Ratu Pakuan disebut Dayeuh Pagulingan. Pada masa itu bala tentara Prabu Pagulingan terkenal tangguh dalam bertempur, daerah Ciguling yang dikelilingi oleh benteng pertahanan alam yang baik, seperti bukit Nangtung (sebelah utara Ciguling) dan bukit Pasir Reungit (sebelah timur Ciguling) digunakan sebagai benteng pertahanan. Tebing Cadas Gantung Geger Sunten digunakan untuk memperhatikan daerah Ciguling sekitarnya termasuk arah kota Sumedang sekarang, bukit Nantung digunakan oleh para Gulang-gulang (senapati) Prabu Pagulingan sebagai pusat (base camp) prajurit Sumedanglarang dan Pasir Reungit (batu Nantung) digunakan sebagai tempat peristirahatan raja-raja Sumedanglarang waktu itu, dalam legenda masyarakat setempat Pasir Reungit disebut
17

